Awan mendung tak lagi mampu membendung air yang ia kandung. Sedangkan bumi yang tidak gersang membuat penghuninya mengutuk hujan yang turun. Banyak rencana manusia yang digagalkan sedang mereka tidak mengerti rencana Tuhan.
Tong tong tong
Penjual mie ayam gerobak satu ini sepertinya pengecualian. Hujan sampai tidak tega melihatnya berteduh terlalu lama. Hujan menurunkan kadarnya dari deras menjadi gerimis, mengiringi langkah seorang pejuang nafkah yang tak kenal lelah.
Jalan setapak sampai beraspal telah mengenali ritme sandal jepit dan bau kakinya. Tapi telinga yang mendengar bunyi mangkuknya kebanyakan sudah kenyang. Sepanjang jalan bibirnya komat-kamit, mengulang doa yang tidak muluk-muluk: pulang dengan gerobak kosong dan uang sekantong.
Meski hari semakin gelap, ia tak putus harap.
Dua perempuan datang menjijit kaki melewati genangan air dari arah yang berlawanan. “Pengen mie ayam,” ucap perempuan yang memeluk tasnya.
Apakah ini jawaban doanya sepanjang hari?
“Gampang, tinggal keluarin uang,” rekannya menimpali.
“Tapi aku sudah beli nasi goreng tadi.”
Rekannya membatin, “Untuk apa bilang pengen kalau gitu? Kasihan bapaknya!”
Mereka berpapasan. Sang penjual membatin, “Aku tidak pernah putus harapan, Tuhan, meski yang kutemui adalah harapan palsu yang berserakan.”
ditulis oleh Qomariah, Pengurus Maskanul Huffadz
Untuk mengapresiasi sekaligus menumbuhkan semangat berkarya, tulisan para santri Maskanul Huffadz baik puisi, cermin, cerpen, dan lain-lain akan diterbitkan di sini. Semoga nilai-nilai dakwah yang mereka kemas dalam karya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.