Oleh: Kemal Adityawarman, Lc.
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari & Muslim, dari Aisyah – radhiyallahu`anha –
مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرنَا هدا مَا لَيْسَ منْهُ فَهُوَ رَد
“Sesiapa yang berbuat baru dalam urusan agama, yang tidak ada asalnya, maka amalan itu tertolak.”
Penjelasan
Di dalam hadis ada redaksi: yang tidak ada asalnya. Ini menunjukan arti: ada perbuatan baru yang tidak ada asalnya dan ada perbuatan baru yang masih ada asalnya dalam agama Islam.
Jika perbuatan baru tidak ada dasarnya tertolak sesuai redaksi di atas, maka perbuatan “baru” yang masih mempunyai dasar di dalam agama Islam tidak tertolak.
Metode memahami hadis seperti ini di dalam ilmu Ushul Fikih dinamakan Mafhum Mukhalafah.
Dengan begitu, bisa difahami dari redaksi hadis bahwa:
1. Bid`ah yang tidak ada dasar sama sekali dalam agama Islam = tertolak ❌
2. Bid`ah yang masih ada dasarnya di dalam agama Islam = bisa diterima ✅
Dengan begitu bid`ah terbagi menjadi dua berdasarkan hadis ini, ada yang bisa diterima yaitu hasanah & ada yang tidak bisa diterima, yaitu dhalalah.
Jadi al-Imam Syafi`i dan yang lainnya mempunyai dasar (dalil) yang kuat dalam membagi bid`ah, tidak serampangan dalam mengambil hukum seperti yg terjadi sekarang.
Perlu dicatat, yang berhak menentukan “ada dasarnya atau tidak?” dalam perkara ini adalah para ahli yang berkecimpung spesialis dalam bidang hukum Islam, mereka adalah para Fuqaha (ahli Fikih), bukan semua “orang awam”. Orang awam wajib merujuk penjelasan para ahli.
Bagaimana Dengan Hadis: Kullu Bid`atin Dhalalah ( Semua Bid`ah Itu Sesat) / كُل بدعَة َضَلالة?
Hadis tersebut bersifat umum dengan adanya kata “kullu (semua)”, sedangkan hadis Aisyah ini bersifat khusus, dengan redaksi ” yang tidak ada dasarnya”, maka kedua hadis tsb sejatinya saling menjelaskan tidak bertabrakan.
Hadis Aisyah ini berfungsi menspesifikasikan keumuman hadis diatas. Dalam ilmu Ushul Fikih ini disebut dengan takhsish (تخصيص), yaitu mengkhususkan yang umum.
Oleh karena itu tidak bisa mengambil hukum hanya dari satu hadis saja. Ini sangat gegabah!
Contoh Dari Bid`ah Hasanah & Dhalalah
Bida`ah Hasanah
1. Inovasi Memberikan Harakat Pada al-Quran, Mewarnai Bahkan Menerjemahkan
Di zaman Nabi & Sahabat Khulafaur Rasyidin tidak ada seorangpun yang mengharokatkan al-Quran. Dahulu al-Quran bahkan hanya ditulis di pelepah kurma berceceran kemudian dihafalkan.
Bentuk hurufnya semuanya gundul, tidak ada titik apalagi harokat dan diwarna-warnai atau ditambahkan tafsir disampingnya seperti di zaman sekarang.
Baru pertama kali diharokatkan setelah masa Imam Khalil Bin Ahmad al-Farahidi, seorang ulama besar ilmu bahasa Arab (wafat 791M/173 H). Beliaulah yang pertama kali memberikan titik dan harokat.
Di zaman sekarang inovasinya lebih kompleks lagi, diwarnai, ditambahkan keterangan hukum tajwid, bahkan ditulis “wakaf raja Fulan Bin Fulan” beserta tafsir. Ini merupakan inovasi yang tidak pernah dilakukan Nabi dan sahabat.
Mengharokatkan al-Quran apalagi mewarnainya ditambah hukum2 tajwid + tafsir di sampingnya merupakan bid`ah yang paling nyata di abad ini.
Akan tetapi bid`ah ini tidak dikatakan sebagai bid`ah sesat, karena masih ada dasar dalam agama Islam, yaitu:
🔴 Perbuatan Khulafaur Rasyidin mengumpulkan al-Quran bertujuan memudahkan, sementara menulis dan mewarnai al-Quran juga memudahkan, maka dibolehkan.
🔴 Sebagai bentuk penjagaan al-Quran, sesuai ayat:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
Dengan begitu, mengharokatkan, mewarnai bahkan menerjemahkan al-Quran merupakan perbuatan bid`ah yang bisa diterima agama (bid`ah hasanah).
2. Maulid Nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wa sallam-
Nabi dan sahabat tidak pernah menggelar peringatan maulid dengan tatacara seperti sekarang, namun perbuatan memeringati maulid seperti sekarang tidak tergolong bid`ah sesat karena:
🔴 Nabi Muhammad dahulu puasa hari senin memeringati hari kelahirannya. Artinya secara dasar peringatan sudah ada, tata caranya yg beda, tatacara yang digelar selama tidak menabrak aturan syariat lainnya, maka tidak masalah
🔴 Maulid Nabi digelar untuk semakin menumbuhkan rasa cinta dan kesadaran umat Islam untuk menjalankannya sunah-nya. Sementara mencintai Nabi merupakan wajib bagi kaum muslim.
Dengan begitu, maulid Nabi masih ada dasarnya dalam agama Islam, maka tergolong ke dalam bid`ah hasanah, kecuali di dalam maulid tsb ada hal2 yang melanggar seperti tersingkapnya aurat dll.
3. Taklim Mingguan Di Mesjid; Sabtu & Minggu
Taklim / menuntut ilmu agama Islam merupakan perbuatan ibadah yang disyariatkan seperti dalam hadis:
طَلَبُ العلم فريضة على كل مسلم
Namun tidak ada riwayat dari Nabi ataupun sahabat yang dahulu mereka “mengkhususkan” taklim pada hari sabtu dan minggu bakda subuh.
Oleh karena itu, taklim subuh sabtu dan ahad merupakan perbuatan bid`ah yang tidak pernah dilakukan Nabi.
Akan tetapi ini bid`ah hasanah, tidak bertentangan secara umum dengan agama Islam bahkan membantu mewujudkan, maka perbuatan ini diperbolehkan.
4. Thawaf Diatas Masjidil Haram
Saat ini thawaf bukan hanya di samping Ka`bah, namun pemerintah Saudi membuat tempat thawaf baru yang ada disamping Ka`bah posisinya hampir sejajar dengan Ka`bah. Thawaf merupakan perbuatan ibadah, dan ibadah thawaf diatas tidak pernah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabiin, tabiit tabiin, baru pada hari ini saja.
Bid`ah Dhalalah
Diantaranya:
1. Membuang Nasi Sesajen Ke Laut Sebagai Bentuk Syukur
Tentu bersyukur itu diperintahkan, namun tindakan syukur bukan berati membuang2 sesuatu / mubadzir. Membuang sesajen ke laut merupakan perbuatan tabdzir.
2. Melakukan Shalat Qadha Untuk Mayit
Sebagian orang melakukan shalat qadha untuk mayit yang dahulunya tidak pernah melaksanakan shalat lima waktu, dengan berdalih bahwa kewajiabannya akan tergantikan. Jelas hal ini bid`ah dhalalah, tidak ada dasar sama sekali dalam agama Islam.
Sumber
– At Tuhfah ar Rabbaniah Syarhul Arbain An-Nawawiah
– Al Fathul Mubin Syarhul Arbain
Bagus juga