Mengawali materinya pada Rabu, malam ke-5 Ramadhan, Kang Rashied menyampaikan dahsyatnya keberkahan shalawat. “Malaikat yang mencatat setiap tetes hujan tidak mampu mencatat pahala shalawat,” ujar beliau. Selanjutnya, beliau mengajak seluruh jamaah bershalawat untuk keberkahan Maskanul Huffadz dan kemudahan dalam usaha membebaskan lahan untuk perluasan pesantren.
“Puasa adalah ibadah yang cukup tua,” tutur Kang Rashied. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah/2:183 bahwa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Contohnya Nabi Daud as. Nabi Zakariyya as., dan Maryam.
Di Indonesia sendiri, khususnya Jawa, praktik puasa sudah dilakukan sebelum Islam datang. Kang Rashied menceritakan bahwa ketika Sheikh Jumadil Kubro-yang mengawali jejak dakwah wali songo-dari Uzbekistan safar ke tanah Jawa bersama kedua anaknya yang bernama Maulana Ibrahim dan Maulana Ishaq. Beliau mendapati masyarakat lokal banyak mengamalkan puasa untuk mendapatkan ilmu hitam.
Bahkan sampai hari ini masyarakat Jawa dikenal dengan ‘ilmu’nya. Ilmu pelet untuk mengikat hati pujaan, ilmu ngepet untuk mengumpulkan kekayaan tanpa bekerja, atau santet yang bisa melukai seseorang untuk balas dendam tanpa mengotori tangan. Nah, ilmu-ilmu ini didapatkan dengan syarat berpuasa atau berdiam di suatu tempat dalam waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Melihat kentalnya budaya atau keyakinan masyarakat yang berbau mistis ini, Sheikh Jumadil Kubro bingung. Beliau lalu menulis surat untuk Kekaisaran Turki Utsmani yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad I yang merupakan kakek dari Muhammad Al-Fatih. Menanggapi surat tersebut, Sultan Muhammad I kemudian mengutus seorang sheikh. Namanya Sheikh Muhammad Al-Baqir atau yang kemudian lebih dikenal Sheikh Subakir.
Sheikh Subakir yang menguasai ilmu rukyah ini merasakan hawa yang berbeda ketika menginjakkan kaki di tanah jawa. Beliau lalu masuk ke kawasan gunung di Jawa Tengah. Kang Rashied menyebutkan bahwa salah satu tempat berlindung jin dan setan adalah di ketiak atau celah-celah gunung. Untuk mengusir kawanan jin dan setan tersebut, Sheikh Subakir membacakan ayat Al-Quran.
لَوۡ اَنۡزَلۡنَا هٰذَا الۡقُرۡاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيۡتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنۡ خَشۡيَةِ اللّٰهِؕ وَتِلۡكَ الۡاَمۡثَالُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ
“Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (Al-Hasyr/59: 21)
Jika gunung terpecah belah, bagaimana jin dan setan yang berlindung di ketiaknya? Mereka, lanjut Kang Rashied, dialokasikan oleh Sheikh Bakir menuju Alas Roban. Setelah itu, Sheikh Subakir mendakwahkan masyarakat Jawa dan mengajarkan mereka tujuan dan tata cara puasa yang benar menurut Islam.
“Pembeda puasa umat Islam dan umat lain adalah sahur. Pembeda ibadah dan adat istiadat adalah niat,” simpul Kang Rashied. Beliau kemudian memaparkan dahsyatnya keberkahan sahur. Jamaah salat tarawih di aula Gedung Maryam menyimak dengan saksama. (6/4/2022)