Ada yang pernah lebaran Idul Fitri di Arab?
Cobain deh, pasti culture shock. Meskipun halal bi halal itu bahasa Arab, tapi orang Arab tidak mengenalnya.
Malam 1 Syawal, jangan coba-coba takbiran keliling sambil mukul bedug atau kentungan di sana. Tidak ada anak yang berani main petasan dan tidak ada ibu-ibu yang dapurnya berantakan. Keesokan harinya, setelah salat Id, pintu mereka tidak terbuka untuk tamu.
Mereka tidur. Bukan tanpa alasan. Mereka tidur untuk mengistirahatkan badan setelah memaksimalkan ibadah dalam berburu lailatul qadar di 10 malam terakhir Ramadhan.
Nah, siangnya baru tuh mereka berkunjung ke tetangga terdekat. Itu pun nggak meriah kayak masyarakat Indonesia yang rela macet-macetan demi mudik ke kampung, jalan-jalan mengunjungi rumah ke rumah pake motor bonceng lima, dan memadati tempat-tempat wisata.
Kalau 7 Syawal di Indonesia masih dikatakan lebaran, di Arab hanya satu hari saja. Di hari kedua, masyarakat di sana melanjutkan puasa sunnah Syawal sebanyak 6 hari.
“Barang siapa yang telah melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan berpuasa selama enam hari pada bulan Syawal, maka dia (mendapatkan pahala) sebagaimana orang yang berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)
Adapun kemeriahan silaturahmi atau halal bi halal itu justru terjadi pada saat hari raya Idul Adha. Mereka menjulukinya Idul Akbar. Hal ini dikarenakan Idul Adha berkenaan dengan ibadah haji dan penyembelihan kurban.
Lalu mengapa Indonesia berbeda?
Sejarah tradisi halal bi halal setelah Idul Fitri di Indonesia memiliki banyak versi. Salah satunya disampaikan oleh guru bahasa Arab di Pesantren Tahfidz Maskanul Huffadz, Ustadz Kemal Adityawarman, Lc., pada acara halal bi halal yang digelar kemarin (10/5/22).
“Anak Maskanul Huffadz harus tahu sejarah bangsa Indonesia.” -Ustadz Kemal Adityawarman, Lc.
Secara bahasa, halal bi halal tidak mengikuti kaidah bahasa Arab, kata beliau. Halal bi halal memiliki arti ‘halal dengan halal’. Namun ternyata istilah baru ini memiliki sejarah dan makna yang dalam.
Pasca merdeka, ketika umur Indonesia masih balita. Tepatnya pada tahun 1948, Presiden Ir. Soekarno mengundang Kiyai Wahab Hasbullah ke Istana Negara . Dari tokoh Nahdatul Ulama ini, Presiden Soekarno meminta solusi atas gejala disintegrasi yang menyerang Indonesia dari dalam maupun luar.
Pada tahun itu, kemerdekaan Indonesia diusik oleh kedatangan Belanda dan Inggris. Sementara itu tokoh-tokoh nasional memiliki perbedaan pandangan mengenai masa depan bangsa ini. Ada yang ingin menjadikannya negara komunis. Ada juga yang ingin menjadikannya negara Islam. Bahkan beberapa daerah ingin memilahkan diri.
Karena pada saat itu berdekatan dengan hari raya Idul Fitri, Kiyai Wahab Hasbullah mengusulkan agar diadakan silaturahim.
“Silaturahim, kan, biasa, saya ingin istilah yang lain,” Bung Karno menanggapi.
“Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal.” -Kiai Wahab Hasbullah, dilansir dari NU Online.
Dengan begitu, berkumpullah tokoh-tokoh politik pada masa itu. Dalam satu meja, saling memaafkan dan menyatukan pikiran untuk kepentingan bangsa. Sejak saat itu istilah halal bi halal akrab ditelinga Indonesia sebagai tradisi silaturahim dalam merayakan Idul Fitri.
Ustadz Kemal menambahkan pentingnya saling memaafkan pasca lebaran. Orang-orang yang keluar dari bulan Ramadhan sebagai pemenang adalah orang -orang yang mendapatkan ampunan. Suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali. Namun dosa kepada manusia tidak akan diampuni Allah sampai seseorang itu meminta maaf pada orang yang ia dzalimi.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada suadaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan padanya.” (HR. Al-Bukhari).
Sementara menurut versi lainnya, istilah halal bi halal sudah dipakai jauh sebelum peristiwa tersebut. Wallahu a’lam bishawab.***
Sumber: https://www.nu.or.id/fragmen/kh-wahab-chasbullah-pelopor-tradisi-halal-bihalal-x8TgF
One Comment