MASKANULHUFFADZ – Jika keistimewaan Ramadhan di antara 12 bulan adalah seperti Nabi Yusuf di antara saudara-saudaranya, lalu apa keistimewaan Muharram dari 3 bulan haram lainnya?
Bulan haram adalah bulan yang dimuliakan. Selama bulan-bulan ini, menurut Ibnu Abbas, segala perbuatan dilipatgandakan ganjarannya baik maksiat maupun amal shaleh. Barangsiapa bermaksiat, artinya dia tidak mengindahkan peringatan Allah berikut:
. . . اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, . . .” (At-Taubah/9: 36)
Empat bulan yang dimaksud adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Para ulama sepakat bahwa di antara 4 bulan itu, Muharram adalah bulan yang paling haram. Artinya, pada bulan ini, hendaknya setiap muslim lebih menekankan dirinya untuk tidak menzalimi diri sendiri dengan cara menjauhi maksiat.
Salah satu washilah dipermudah untuk meninggalkan maksiat adalah dengan berpuasa. Nabi ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam. (HR Muslim)
Selain itu, Imam al-Qurthubi mengatakan:
إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلَ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلَ السَّنَةِ الْمُسْتَأْنَفَةِ، فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ
“Puasa Muharram menjadi puasa yang paling utama karena Muharram merupakan awal tahun baru, maka pembukaannya adalah dengan puasa yang merupakan amal paling utama.”
Kalaupun belum mampu untuk puasa dawud atau rutin Senin dan Kamis, setidaknya berpuasalah pada hari ‘Asyura. Sesuai namanya, ‘Asyura merupakan puasa yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram yang memiliki keutamaan yang luar biasa bagi mereka yang merasa diri bergelimang dosa.
عَنْ أَبي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ. (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat. (HR Muslim)
Kaum Yahudi yang mengagungkan hari ‘asyura yang merupakan hari ketika Fir’aun dan tentaranya ditenggelamkan juga menjalankan puasa pada hari itu sebagai bentuk syukur. Mengenaik hal ini, Rasulullah ﷺ menfatakan bahwa beliau dan umatnya lebih berhak. Untuk menghindari tasyabbuh, beliau menyebutkan akan berpuasa sejak hari sebelumnya.
Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah ﷺ wafat. (HR. Muslim)
Hadits di atas merupakan refleksi dari akhlak Rasulullah ﷺ yang tidak lain adalah Al-Qur’an. Beliau mengajarkan kita untuk mengamalkan firman Allah dalam QS. Al-Kahfi ayat 23-24, “Dan janganlah engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,”. Kecuali (dengan mengatakan) , “Insya Allah,” dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah,” Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Meskipun beliau belum sempat menjalankan puasa tasu’a, sudah semestinya tetap diindahkan dan dihidupkan sebagai bentuk cinta terhadap sunnah.***