MASKANULHUFFADZ.COM – Sejarah mencatat kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari peran para ulama, selain menyebarkan dakwah islam mereka juga ikut berjuang melawan penjajah.
Dari sekian tokoh islam, ulama dan santri yang ikut berjuang, satu di antaranya adalah Syeikh Yusuf Al-Maqassari, beliau adalah ulama besar dari daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Syeikh Yusuf memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Dalam catatan sejarah perjuangannya dalam menimba ilmu agama, Syeikh Yusuf sudah melakukan perjalanan panjang dalam menemukan ilmu, sejak usia 15 tahun ia berguru dengan Sayyid Ba Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid di Cikoang. Pada usia 18 tahun, ia pulang lalu menikahi putri Sultan Gowa, kemudian melanjutkan dakwahnya ke Aceh dan Banten.
Saat di Banten ia bersahabat dengan Sultan Ageng Tirtayasa, dan berguru dengan Nuruddin Ar-Raniri untuk mendalami tarekat Qadiriyah. Sejak keberangkatannya pada tahun 1644 untuk berhaji ke Mekkah, ia lanjut mendalami ilmu agama di negara Timur Tengah selama 20 tahun. Saat kesultanan Gowa kalah melawan Belanda, Syeikh Yusuf diminta oleh Sultan Ageng Tirtayasa berhijrah ke Banten untuk menjadi pendidik agama Islam sekaligus mufti hakim Islam (Mufti) di kesultanan Islam Banten.
Dalam perjuangannya melawan Belanda, Syeikh Yusuf membuat taktik peperangan dalam mengelabui Belanda dengan membawa pasukan 5.000 orang. Saat mereka berada di Cikaniki Belanda mencegat pasukan namun tidak berhasil karena pasukan tersebut bergerak ke pegunungan. Peristiwa tersebut membuat Belanda marah, dan mereka menawarkan masyarakat Batavia yang berhasil mencegat pasukan Syeikh Yusuf akan diberikan hadiah oleh Gubernur Jendral 1000 ringgit.
Dari Jampang bogor Syeikh Yusuf meneruskan perjalanan ke Pamotan dan Cilacap Jawa Tengah dengan menggunakan perahu. Disana pasukan di cegat Kompeni Belanda, sehingga mereka membelok ke Padaherang dengan menyusuri sungai Citanduy. Dari Padaherang, pasukan Syeikh Yusuf melakukan penyerbuan ke Benteng kompeni Belanda.
Namun, pada tanggal 25 September 1683, Kompeni melakukan serbuan besar-besaran ke Padaherang, akibatnya Pangeran Kidul dan banyak para pembesar Banten dan Makassar Gugur di medan Jihad. Istri dan putri Syeikh yusuf di tawan oleh kompeni, sementara itu Syeikh Yusuf beserta pasukannya berhasil meloloskan diri ke daerah Banjar.
Pasukan tersebut terus melakukan perlawan terhadap Belanda secara berpindah-pindah, hingga mereka sampai ke Mandala, Sukapari. Hal ini mengakibatkan Belanda sulit menangkap Syeikh Yusuf. Akhirnya Belanda membuat siasat untuk menangkap Syeikh Yusuf berpura-pura seperti tawanan kompeni dengan menyamar memakai pakaian Arab. Sehingga Belanda berhasil menembus benteng pertahanan pasukan gerilyawan Islam.
Asma anak perempuan Syeikh Yusuf yang ditangkap kompeni Belanda datang bersama Van Happel masuk ke daerah karang untuk meminta maaf dan membujuk untuk berunding dengan ikatan janji-janji manis dan kepalsuan. Putrinya yang sudah diajarkan Van Happel juga membujuk ayahnya, sehingga Syeikh Yusuf menerima tawaran tersebut.
Pada 14 Desember 1683 Syeikh Yusuf bersama keluarga dan 12 orang santrinya datang ke Cirebon. Kemudian mereka dibawa ke Batavia dan dijebloskan ke penjara. Untuk mengurangi pengaruh Syeikh Yusuf, Belanda mencoba melakukan kristenisasi padanya dan kemudian dibuang ke Ceylon Srilanka, namun usaha Belanda tersebut gagal.
Pembuangan tersebut membuat Syeikh Yusuf semakin aktif menyebarkan dakwah Agama Islam sehingga ia memiliki ratusan murid, salah satu murid terkenal di India adalah Syeikh Ibrahim Ibnu Mian. Pada 23 Mei 1699 M Syeikh Yusuf meninggal di Tanjung Harapan Afrika Selatan. Kematiannya tersebut banyak diperingati masyarakat, sehingga mantan Presiden Afrika Nelson Mandela menyebutnya sebagai putra Afrika terbaik.
Peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terfokus untuk pembebasan negara dari penjajahan secara fisik, namun juga mewujudkan kemerdekaan bagi umat manusia agar memperoleh agama yang lurus dan benar.