Skip to main content

Kaifa?

Gubahan SeftyDwi (Pengurus Maskanul Huffadz 2023)

Satu bulan lalu,

“Jangan habiskan rasa sedihmu, cukup doa sebaik-baiknya pengantar beliau nak. Wassalamu’alaikum.” Denting telepon terhenti, menyisakan sunyi pada telepon yang Ia genggam. Kesedihan tergambar jelas di bola matanya, hatinya hancur dikala sang pelita hati pergi tanpa kembali, yang tersisa di pikirannya adalah “Bagaimana caranya agar bisa pulang?” 

***

Sore itu, kala langit biru berubah menjadi jingga. Hempasan angin bertabrakan satu sama lain, menyenggol dedaunan yang asik menari di atas ranting. Perlahan matahari terbenam membawa damai dan keheningan, memancarkan cahaya keemasan yang meredup secara perlahan dari balik menara As-Sami’ Pondok Pesantren Modern Darul Fatah Al-Mawaddah. Tak terlihat aktivitas apapun sejauh mata memandang, meninggalkan suara lonceng pertanda malam akan datang. Pintu-pintu dan ratusan jendela di tutup dari asrama berlantai tiga dengan leter U yang di tengahnya terdapat hamparan lapangan luas.

Tiga bulan kiranya, semenjak pemerintah menyatakan bahwa virus corona masuk ke dalam negeri ini. Ratusan nyawa telah menjadi korban kejam dari virus tersebut. Banyak yang dikorbankan masyarakat sejak saat itu, keluarga, pekerjaan, perekonomian, perkebunan hingga imbasnya juga sampai pada pesantren yang aku naungi hari ini.

Pondok Pesantren Modern Darul Fatah Al-Mawaddah, menjadi salah satu pesantren yang berada di zona merah. Seluruh kegiatan belajar mengajar di hentikan, para santri diberi pilihan untuk bertahan di pondok atau pulang. Sebagian besar termasuk diriku memilih untuk tetap berada di pondok, takut jika pulang justru membawa virus jahat itu.

Lantunan ayat Qur’an menggema seisi langit kamar. Para santri membaca Quran di tempat tidurnya masing-masing. Sedangkan di hadapanku, terpendam dengan puluhan buku pelajaran yang tak kupahami. Tiga bulan lalu, sebelum KBM di hentikan kami mengikuti atau ujian tengah semester dan hasilnya sungguh mengecewakan. Hampir seluruh nilaiku turun dan membuatku harus mengulang ujian. Belum lagi ditambah dua bulan lalu diri ini dinyatakan positif terpapar virus, sangat lengkap kemalangan yang menimpa diriku. Aku menghela nafas panjang “huh…”

“Assalamu’alaikum, Adam Setiawan?” dari balik pintu kamar terdengar, membuat seisi kamar menjawab “wa’alaikumussalam.”

Aku segera menarik daun pintu, ternyata yang ada di balik pintu ini ialah salah satu pengurus.

“Antum, ikut Ana ke ruang qismul amni sekarang.” Beliau mengatakan dengan mimik yang serius.

Aku hanya menunduk dan mengikuti langkahnya, namun dalam hati ini bertanya tanya apa yang sedang terjadi atau apa yang telah aku perbuat? Aku mengusap wajah yang mulai berkeringat. Kelokan pertama dan kedua sudah terlewat, beberapa pintu setelah ini aku pun sampai di ruang yang di maksud.

Sesampainya di depan ruang, aku dipersilahkan untuk masuk dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Aku meneguk ludah, para pengurus yang ada di dalam ruang menatapku dengan tatapan yang tak ku mengerti.

“Beberapa menit lalu, keluarga antum ada telepon. Tunggu saja, nanti pasti di telepon kembali,” ucap salah satu pengurus yang ada di hadapanku. Ia menyodorkan telpon genggam padaku. Aku pun semakin bingung dengan rangkaian peristiwa ini. Hatiku jadi tak menentu.

Beberapa menit berikutnya, telepon berdering akupun segera mengangkatnya. Tertulis “Wali Santri Adam Al Husein” pada kontaknya.

“Assalamu’alaikum Dam, Gimana kabarnya?” terdengar suara berat sedikit serak dari dalam telpon.

“Wa’alaikumuusalam yah, alhamdulillah baik. Tumben Ayah nelpon malam begini, Kenapa yah?” tanyaku, yang bertambah heran karena suara ayah tak biasanya sesendu dan serak seperti ini.

“Adam, anak Ayah paling kuat ya nak…,” suara Ayah terjeda.

Sejenak lengang.

Seketika aku tertegun mendengar kabar yang disampaikan Ayah. Mataku mulai perih. Aku melempar telepon sembarang, segera berlari tak tau arah dari dalam ruang. Hatiku hancur, benar benar hancur. Aku berlari menaiki tangga asrama hingga sampai pada rooftop.

Nafasku tak beraturan, pipiku sudah basah sedari tadi. Aku berteriak sekencang kencangnya dari atas ketinggian ini. Hingga tak menyisakan tenaga untuk tahan berdiri, akupun terjatuh. Memandang luas hamparan langit.

“Bunda…” kalimatku terhenti tak sanggup melanjutkan. Ayah mengabarkan bahwa Bunda baru saja pergi meninggalkan kami untuk selamanya, akibat virus ganas ini. Aku tak percaya dengan kabar itu, sungguh Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpanya, Aku tak ada di akhir hayatnya. Aku…

***

Cahaya matahari menyilaukan mataku, Aku terbangun. Ternyata semalaman Aku tertidur di rooftop, dengan keadaan yang berantakan aku terhuyung huyung berjalan ke dalam asramaku. Badanku terasa remuk, kepalaku serasa mau meledak isinya. Aku menuruni tangga, hingga seluruh pandanganku gelap dan…

“Dam, Antum udah bangun dam?” samar terdengar suara dari satu titik cahaya.

Aku membuka mata dengan penuh, “Alif?” ucapku pada sosok sebaya di hadapanku.

“Alhamdulillah, Antum tadi ditemuin sama temen-temen yang lain di bawah tangga. Pingsan katanya,” jawab Alif.

Aku memutar kembali ingatan, “oh.”

Aku berdiri meninggalkan kasur Alif dan pergi meninggalkannya tanpa aba-aba.

“Eh Dam, mau kemana antum?” tanganku tertahan di genggam Alif.

“Halah, jangan tahan Ana lif. Antum ga tau apa-apa!” Aku menghempas tangan Alif dan segera pergi ke kamarku.

Sepanjang perjalanan hingga ke kamar sahutan dari teman-teman tak Aku gandrungi. Aku berjalan tak beraturan, nabrak sana nabrak sini. Apapun itu Aku tak peduli.

Sesampainya di dalam kamar, emosiku tak terkendali semua barang milikku ku banting sembarang. Baju-baju berterbangan ke segala arah. Aku mengambil koper milikku yang ada di atas lemari, membantingnya dengan kasar. Segera membuka dan memasukkan bajuku satu persatu tanpa rapih sedikitpun. Untungnya kondisi kamar kosong. Agenda pagi seperti biasa, para santri diwajibkan berolahraga di lapangan utama pondok.

Tak lama dari itu, ada saja yang membuat diriku semakin kesal dengan kedatangan tamu tak di undang.

“Loh dam, Antum kenapa beberes gini? Ini juga semua berantakan karna Antum? Hah?” lagi lagi Alif yang tak sengaja melihatku dari luar pintu.

“Mau pulang Ana lif,” jawabku singkat. Tanganku lincah memasukkan baju ke dalam koper.

“Kenapa dam kenapa? Antum kalo ada masalah cerita. Kenapa?”

Aku diam tak menjawab.

“Dam?!” tegas Alif.

Aku sontak menjolak Alif menjauh dariku, ia hampir terjatuh. “Bunda Ana meninggal lif! Ga tau kan Antum. Hancur lif semua hancur! Ngga ada harapan Ana disini. Nilai Ana turun, belum dengan pelajaran yang susah Ana mengerti ditambah ini lif,” air mataku tak tertahan lagi.

“Antum tau apa hah?! Alif Herdiansyah, santri multitalenta kesayangan kyai. Nilai pelajaran selalu tinggi, muroja’ah nggak pernah gagal. Keluarga harmonis, tau apa Antum sama apa yang Ana rasa hah?!” Aku kembali mendorong Alif.

Alif mengernyit, ia menggeleng dan mulai mendekat ke arahku.

“Tapi bukan pulang jalan keluarnya Dam,” ucap Alif.

“Jadi Apa? Bunuh diri?” tegasku.

“Astagfirullah sabar Dam sabar! Bukan antum aja yang kehilangan kalau gitu, Ana juga!” suara Alif meninggi, ia menghempaskan tubuh Adam ke pojok lemari. Kerah bajunya tertahan. Adam pun tersentak, baru kali ini ia melihat Alif seperti ini.

 “Satu bulan yang lalu Ana di telpon pihak rumah sakit. Mereka mengabarkan ke Ana kalau Nenek Ana udah meninggal Dam. Satu-satunya keluarga yang Ana miliki dari kecil…” Alif mulai terisak.

“Ana ga pernah tau sosok kedua orang tua Ana dari ana kecil Dam, Cuma Nenek Ana yang Ana miliki.” Alif menarik nafas sebentar.

“Antum tau, saat itu Ana juga berpikir gimana caranya pulang, tapi Ana berubah fikiran. Disini adalah rumah Ana sekarang, Nenek Ana juga akan sedih kalau tau Ana pulang tanpa membawa ilmu apapun. Ana bertahan disini, berjuang, sabar, ikhlas Dam ikhlas!” Alif mencapai titik kemarahannya, ia akhirnya terduduk lemas.

“Astagfirullah… astagfirullah,” isak Alif.

Sejenak Adam mencerna semua perkataan frontal dari Alif. Sampai akhirnya ia tersadar dan melihat Alif yang sudah terpuruk di bawahnya, dengan linangan air mata yang masih ada di pipi, ia segera duduk merangkul Adam.

“Maaf lif, Ana ga tau ternyata antum ngalamin hal yang lebih berat,” ucap Adam.

Alif mengangguk, ia mulai tenang seperti biasa.

“Tapi, gimana lif? Gimana caranya biar bisa sabar dan ikhlas seperti Antum?” Adam menatap serius Alif.

Alif mengambil sesuatu di meja belajarnya lalu menunjukkan pada Adam, “Ini adalah cahaya penyejuk hati kita Dam. Bahwa sesungguhnya ia adalah obat bagi seluruh penyakit jiwa dan hati.”

Adam mengambil benda yang di sodorkan Alif, ia mengangguk mantap melihat benda tersebut.

Setelah itu, Adam beranjak meninggalkan Alif untuk mengambil wudhu. Ia mulai bersimpuh memohon ampunan untuk dirinya dan tak lupa menghantar doa untuk Almarhum Bundanya. Ia tersadar, akan seluruh hal yang sedang terjadi. Bahwa sesungguhnya, tak ada kemalangan menimpa suatu hamba melainkan Allah menguatkan dan menyiapkan obat terbaiknya.

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Qs. Al-Isra : 82)

Lantunan ayat suci menerangkan seisi ruang, menyelimuti kesedihan dengan seluruh kedamaian. Ternyata sungguh benar janji yang telah di berikan-Nya. Benar dengan segala firman-Nya. Perlahan hati yang kacau mulai terisi kembali dengan kehangatan dan ketenangan.

 Malam itu, Adam telah menemukan pelita jiwanya kembali.

END

 

 

Pages: 1 2

3 Comments

Leave a Reply