MASKANULHUFFADZ.COM – Gaza menjadi tanah yang kini menjadi pusat perhatian bagi seluruh umat dunia. Kekejaman zionis dalam menghancurkan tanah Gaza, tentunya tidak hanya meratakan bangunan, namun juga melahirkan mayat-mayat para syuhada.
Dalam perjuangan ini tentu ada pejuang-pejuang hebat yang rela mempertaruhkan nyawa mereka menjadi garda terdepan dalam membantu keselamatan umat di sana. Dan kadang kala banyak mata yang tidak tahu bagaimana perjuangan mereka dalam melawan ego sendiri demi memperjuangkan keselamatan hidup orang banyak. Yuk sofaz, kita baca secarik cerita para pahlawan Gaza berikut:
“Lorong Gaza”
Ciptaan: Seftydwi_Pengurus Maskanul Huffadz 2023
Langit malam Gaza yang seharusnya indah oleh ribuan bintang, justru yang bisa kau lihat hanya suramnya langit di balut ribuan rudal. Dentuman kencang terdengar dari jarak ribuan kilometer. Area rumah sakit semakin ramai dengan roda-roda brankar yang hilir mudik masuk dan keluar. Kakiku berlari kencang mendorong salah satu brankar kosong menuju mobil ambulans yang sudah siap mengeluarkan korban selanjutnya.
“Akan ada lebih banyak korban malam ini, teruslah berjaga!” kalimat singkat dari wanita sebayaku.
Belum sempat aku menyapa, ia sudah hilang dengan mobil ambulans dan para rekannya. Aku menelan ludah, kembali berlari mendorong masuk brankar. Kali ini, ibu paruh baya dengan sekujur luka di bagian punggung. Darahnya mengucur membasahi alas brankar, aku menatapnya pilu namun ia membalas dengan senyum yang damai. Aku mengalihkan pandanganku, fokus ke depan. Di ujung sudut ruang tangan Dokter Salamah sudah siap menerima brankar untuk masuk ke ruang IGD.
“Nak, malam ini sepertinya kita benar-benar tidak bisa menikmati sepotong kurma bersama. Tetaplah bersyukur,” ucap Dokter Salamah dengan meninggalkan senyum.
Sekejab brankar sudah di tarik masuk ke dalam ruangan. Aku berdiri sebentar di depan ruang IGD, mengatur irama nafas sembari mengingat kembali raut wajah Dokter Salamah yang tak kehilangan senyumnya walau setelah aku pikir-pikir sudah empat puluh delapan jam ia tidak tidur. Perlahan aku menunduk malu, lihatlah kakiku saja sudah gemetar padahal aku lebih banyak waktu istirahatnya dari pada beliau. Kemudian mengusap air mata yang hampir tumpah dan kembali mengambil brankar kosong untuk kembali di dorong.
Malam berlalu dengan kesibukan mendorong brankar hingga pagi meyapa tanpa aba-aba.
Aku duduk di koridor rumah sakit, menyenderkan tubuh yang semalaman tak mendapat haknya untuk istirahat. Melirik kiri dan kanan, melihat puluhan ekspresi cemas beriring harap menanti para keluarganya yang saat ini sedang bertaruh antara hidup atau syahid. Ku dalami setiap garis wajah mereka, lusuh, matanya hitam seakan lupa rasanya tidur, namun bibir mereka terus bergumam tak meninggalkan dzikir.
Masyaallah suka dengan karyanya di tunggu karya selanjutnya ustadzah