Malam Tahun Baru yang Kelabu
Menyingkap gorden kamarnya, Nazila melihat langit tahun baru dipenuhi kembang api saat jam menunjukkan pukul 00.00, 1 Januari 2024. Ia menghela nafas berat. Ini tahun ke-17 tanpa kehadiran Ayah, hanya diisi dengan target tahunan yang menemaninya.
Tahun lalu, menjadi tahun yang sulit baginya. Impian masuk Perguruan Tinggi Negeri tidak terwujud, meskipun teman-temannya tidak percaya saat ia tidak masuk dalam siswa yang memenuhi syarat. Nazila tidak keberatan. Namun, ketika SNBT dan Seleksi Mandiri diikuti, peluang ini juga menutup pintu, peristiwa itu menjadi titik terendah dalam hidupnya. Tidak ada opsi lain selain Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Kedokteran.
Nazila berharap 2024 akan menjadi tahunnya, di mana semua asa dan kebahagiaannya menjadi kenyataan.
Sejak ia lahir hingga fase dewasa, Nazila belum pernah menginjakkan kaki di pedal sepedanya. Dia lebih khawatir diejek karena belajar sepeda tanpa bantuan Ayah daripada diejek karena tidak bisa mengendarai sepeda. Nazila belum bisa menerima kenyataan.
Meskipun telah mengikuti banyak kajian, hatinya tetap teguh menolak untuk memberikan justifikasi terhadap sikap buruknya terhadap Ayah. Kebencian itu masih kokoh di dalam hatinya.
“Ibu,” panggil Nazila pada sosok ringkih yang berdiri di belakangnya. “Masih kuliah di Fakultas Kedokteran?” tanya Rumi, sang Ibu, sambil membersihkan darah di lembaran buku Nazila.
Gadis itu lupa mengunci pintu kamarnya, memberi Rumi kesempatan untuk menjelajahi setiap sudut kamar yang lebih sering terkunci itu.
“Iya, Ibu tahu aku tidak akan menyerah.” Nazila menghampiri meja belajar, membereskan buku yang masih berserakan.
“Bagaimana dengan niatmu? Sudah diperbaiki?” Rumi bertanya serius, tapi Nazila enggan menanggapi jika sudah membahas perihal itu.
“Nazila Ibu tidak akan menentang apapun cita-citamu. Tapi tolong, jangan ada yang salah dengan niatmu” merasa tersinggung, Nazila berdiri menghadap Ibunya. “Apa yang salah dengan niatku, bu?” Aku hanya ingin Ayah tahu bahwa anak yang ditelantarkannya bisa mengenakan jas putih yang membanggakan.
Aku ingin setiap detik dalam sisa hidup Ayah penuh penyesalan. Rumi menarik napas dalam, tidak ingin menghadapi ego anak semata wayangnya degan amarah pula. “Ayah tidak menelantarkanmu,” katanya mencoba memberi pengertian.
“Tidak! dia sudah menyematkan predikat anak haram pada diriku”
“Nazila!” bentakan Ibunya yang sontak membuat Nazila terdiam, tapi tidak lantas membuat egonya melunak. Kenangan masalahnya yang tidak terlalu baik mengingatkan Nazila pada salah satu candaan temannya.
“Na, kalo di film-film, anak yang gak punya Ayah itu biasanya disebut anak haram, loh” teman-teman satu kelas Nazila terbahak. Entah bagian mana yang terdengar lucu, bagi Nazila kalimat itu adalah trauma terberatnya.
“Anak buangan! Anak buangan! Wee..”seru teman SMP-nya saat mereka sedang bergurau bersama, itu tidak terdengar seperti gurauan di telinga Nazila, meski teman-temannya menganggap begitu. Mungkin karena gadis sok kuat itu tidak pernah menunjukkan reaksi keberatan. Melawan candaan-candaan mengerikan itu hanya akan membuat Nazila terlihat menyedihkan.