Skip to main content

Tetesan-tetes air mata mengalir di pipi Nazila, diusap dengan kasar, cukup mengingatkannya luka di hatinya. Gadis yang rapuh berusaha menyembunyikan diri di balik selimut, menghindari sang Ibu yang jarang bersama karena sibuk dengan pekerjaannya.

Sebuah tangan lembut menyentuh bahu Nazila, tapi usapan itu justru membuat air mata Nazila meleleh. Rumi, sang Ibu, berkata bahwa ia tidak bisa mengenalkan Nazila pada Ayahnya atau menceritakan hubungan mereka sebelumnya. Meskipun begitu, Rumi memastikan bahwa Nazila terlahir dari hubungan yang sah dan diridhoi Allah.

Nazila masih enggan menerima kenyataan. Meski telah mengikuti banyak kajian, hatinya tetap teguh menolak memaafkan Ayahnya, yang ia anggap tidak pantas dicintai, terutama oleh anak kandungnya sendiri.

Sang Ibu berharap Nazila percaya bahwa Ayah bukanlah sosok yang patut dibenci sebegitu dalamnya. Namun, Rumi, sang Ibu, mengakui bahwa keegoisannya telah menghalangi Nazila dan Ayah untuk saling mengenal.

Dalam suasana yang tegang, Nazila disentuh lembut oleh Rumi. Namun, usapan lembut itu malah membuat air mata Nazila mengalir, seiring dengan kata-kata Rumi yang mengungkapkan bahwa Ayahnya tidak bisa dikenalkan atau dijelaskan hubungannya dengan Nazila. Meskipun begitu, Rumi meyakinkan Nazila bahwa kelahirannya berasal dari hubungan yang sah dan diridhoi oleh Allah.

Rumi, yang tahu tentang kehamilan Nazila setelah proses perceraian selesai, kesulitan memberi tahu putrinya bahwa Ayahnya menikah lagi.

Semua ini berawal dari Ibunya yang menolak poligami, dan perceraian dianggapnya sebagai pilihan terbaik, meskipun Nazila akan tumbuh tanpa Ayahnya. Rumi meminta Nazila untuk melupakan rasa benci terhadap Ayahnya dan menjalani hidup damai dan bahagia.

Melalui perjalanan spiritual dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Nazila menyadari bahwa balas dendam terhadap Ayahnya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Meskipun ia bercita-cita menjadi dokter, ia menyadari bahwa niatnya yang bengkok dapat membawa dosa. Rumi berharap Nazila dapat membersihkan hatinya dari kebencian dan menjalani hidup dengan damai.

Nazila merenung atas fokusnya selama ini, yang lebih berpusat pada membuat Ayahnya menyesal daripada mencapai cita-citanya sendiri. Rumi, meski Nazila jarang menganggapnya ada, meminta putrinya untuk hidup bahagia dan tidak membiarkan rasa bencinya menghalangi kesuksesan di dunia dan akhirat.

Rumi pergi, meninggalkan Nazila dengan tangisan yang tak bisa lagi ditahan. Keegoisan dan penelantaran Nazila terhadap Ibunya yang telah berjuang keras menjadi jelas baginya. Hati Nazila terasa hancur, dan ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan Ibu yang begitu berjuang.

Dalam momen introspeksi, Nazila merasa hancur. Kata-kata Rumi membuatnya menyadari bahwa ia telah mengesampingkan Ibu yang berjuang dan mengorbankan segalanya. Keegoisannya selama 17 tahun runtuh dalam satu malam. Nazila merasa menyesal dan meminta maaf pada Allah. Ia memutuskan untuk menyerah pada niat buruknya, termasuk ambisi menjadi dokter yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Nazila yang memakai mukena setelah menjalankan qiyamul lail memilih untuk tidak melaksanakan salat munfarid di kamarnya, melainkan menghampiri Ibunya di mushola rumahnya. Keduanya, meski memiliki harapan yang sama, berdoa harmoni dan kebahagiaan di dalam hubungan ibu dan anak mereka, tanpa membahas sosok Ayah di malam tahun baru yang penuh perasaan.

Nazila, dengan hati yang lentur, merenung dan berjanji untuk melupakan kebencian terhadap Ayahnya serta menjalani hidup dengan damai dan bahagia.

Baca Juga: Lautan Harapan untuk Ayah 

Pages: 1 2 3

Leave a Reply