MASKANULHUFFADZ.COM – Pada 13 Oktober 2025, media sosial ramai membahas cuplikan tayangan dari salah satu stasiun televisi swasta nasional. Dalam tayangan tersebut, pesantren digambarkan secara negatif dan dikaitkan dengan praktik yang disebut menyerupai perbudakan.
Video yang beredar memperlihatkan sejumlah santri bersalaman dengan kiai sambil berjalan ngesot. Aksi itu kemudian ditafsirkan oknum sebagai bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap guru, bahkan disamakan dengan perilaku tidak wajar.
Sebenarnya, sikap para santri dalam tayangan tersebut merupakan wujud adab, ketawadhuan, dan rasa ta’zim kepada gurunya. Tradisi ini telah diajarkan sejak masa para ulama terdahulu sebagai bentuk penghormatan kepada sosok yang menuntun pada jalan ilmu dan kebenaran.
Bagi para santri, memuliakan guru adalah cara mereka mencari keberkahan ilmu. Mereka meyakini, adab adalah pintu utama terbukanya ilmu dan keberhasilan dalam kehidupan.
Tak bisa dimungkiri, banyak tokoh besar Indonesia lahir dari rahim pesantren. Sebut saja KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdatul Ulama), Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 Indonesia), Buya Hamka (ulama, sastrawan, dan politisi), serta Agus Salim (pahlawan nasional).
Peran mereka sangat besar dalam membentuk arah bangsa dan memajukan peradaban Indonesia. Semua itu tentu tidak terlepas dari didikan pesantren dan bimbingan para kiai yang mengajarkan nilai keikhlasan, kedisiplinan, dan penghormatan kepada ilmu.
Karena itu, anggapan bahwa sikap santri yang menundukkan tubuh atau bersikap sopan kepada guru adalah bentuk perbudakan jelas keliru. Justru dari adab dan ketawadhuan itulah lahir generasi-generasi hebat yang membawa perubahan besar bagi negeri ini.
Refleksi Para Ulama Terdahulu dalam Menghormati Guru
Kesuksesan ulama terdahulu dalam berkarya tidak hanya karena giatnya mereka belajar, namun karena keberkahan guru. Disebutkan dalam riwayat bahwa ilmu itu didapatkan dengan rendah hati dalam mendengarkan, sedangkan rendah hati itu adalah adab yang tertinggi. Sikap rendah hati ini merupakan kemuliaan dan ketundukkan kepada guru merupakan kebanggaan dari santri.
Diceritakan, banyak cara yang ditampilkan para ulama terdahulu dalam ketundukkan mereka pada gurunya. Seperti Ar-Rabi’ bin Sulaiman terhadap gurunya As-Syafi’I, ia tidak berani minum saat belajar sedangkan gurunya Imam Syafi’I sedang melihatnya. Sedangkan Imam Syafi’I dalam belajar saat dihadapannya Imam Malik ia membuka lembaran buku dengan pelan-pelan agar gurunya tidak terganggu. Ibnu Abbas pernah memegang pelana kuda untuk Zaid bin Tsabit saat ingin menungganginya.
Imam Abu Hanifah tidak pernah menyelonjorkan kaki menghadap rumah gurunya, sedangkan jarak rumah mereka sekitar tujuh langkah kaki. Begitu pula dengan Abu Yusuf muridinya Abu Hanifah, ia tidak pernah shalat sejak gurunya wafat melainkan meminta ampunan untuk gurunya, bahkan ia lebih dulu mendoakan Abu Hanifah sebelum orang tuanya.
Dari kisah-kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan betapa pentingnya kita menonjolkan adab kepada para guru kita. Dengan rasa ta’zim dan adab yang kita hadirkan kepada guru akan membawa keberkahan ilmu serta memberi kebermanfaatan dari ilmu tersebut dalam kehidupan kita.