Ustadz Kemal Aditya, guru bahasa Arab di Maskanul Huffadz, digemari oleh santri karena kedalaman ilmu dan senang bercerita. Dalam grup WhatsApp yang dinamai “Pelayan Quran -MH-“, beliau membagikan kisah yang membangkitkan semangat kami untuk terus menuntut ilmu. Berikut kisahnya.
Abu Bakar al-Qaffal, seorang ulama (ilmuwan) besar dalam bidang Fikih, mengarungi hidupnya selama 40 tahun dalam keadaan jahil (bodoh), tidak mempunyai ilmu. Suatu hari ia pergi ke salah satu Syekh di daerah Marwa, kemudian al-Qaffal mengenalkan diri kepadanya dan mengutarakan keinginannya untuk menuntut ilmu.
Syekh trsb mengajarinya beberapa kaidah dan kalimat yang harus dihafalkan oleh al-Qaffal. Beliau mendikte bukunya kepada al-Qaffal dengan kalimat awal yang berbunyi:
Ini adalah buku, yang aku telah ringkas/rangkum dari bukunya Imam as-Syafii
Setelah didikter beberapa kalimat tersebut yang ia wajib menghafalkannya, ia pun kembali ke rumah dan mengulanginya agar ia hafal, agar esok harinya ia akan setorkan kepada Syekh tsb. Ia mengulangi kalimat tsb dari setelah Isya sampai waktu subuh, kemudian tetiba ia mengantuk, dan terbangun akan tetapi ia lupa kalimat yang telah didikte tadi.
Ia pun merasa kecil hati dan berkata pada dirinya:
Gawat, apa yang akan aku katatakan pada guruku?
Ia pun memberanikan diri datang dan Syekh-nya telah mengetahui bahwa ia telah lupa kalimat yang didiktekan padanya. Akan tetapi Syekh-nya tidak kecewa bahkan terus mendorongnya untuk selalu belajar, yang kemudian hari membuat al-Qaffal menjadi ilmuwan besar Islam dalam bidang Fikih. Syekh tsb menasihatinya:
Jangan sekali-kali hal ini membuatmu berpaling dari ilmu, karena kamu kalu terus berusaha untuk memahami dan menghafalkan maka itu akan menjadi kebiasaan dan memudahkanmu!
Dengan nasihat tsb, al-Qaffal semakin semangat dan dikemudian hari beliau menjadi ilmuwan besar Fikih yang terkenal di kalangan para ahli Fikih dengan karya-karya fenomenalnya. Al-Qaffal hidup selama 80 tahun: 40 tahun dalam keadaan jahil (bodoh) dan 40 tahun dalam keadaan aalim (berilmu/sebagai ilmuwan Fikih).
Imam Tajuddin as-Subki, dalam bukunya tentang biografi para ilmuwan Fikih & Ushul Fikih, menyebutkan:
al-Qaffal merupakan salah satu dari pada imam (pemimpin) ahli ilmu di dunia ini, beliau termasuk ulama Fikih terbesar dari Khurasan, imam besar (dalam keilmuwan), lautan yang luas, pemahamannya mampunya menangkap makna-makna yang mendalam, jernih fikirannya, pemahamannya detail, agung kedudukannya dst
Kemudian Imam Tajuddin as-Subki menukilkan dari Nashir al-Umari pernyataannya ttg al-Qaffal:
Tidak ada orang yang lebih alim (berilmu dalam Fikih) daripada al-Qaffal pada zamannya dan tidak ada yang seprtinya setelah ia wafat. Dahulu ita sering mengatakan:
Al-Qaffal ini SEPERTI malaikat (karena saking cerdasnya) namun dalam bentuk manusia
Al-Qaffal dahulu pernah bercerita tentang dirinya setelah ia menjadi orang alim (berilmu):
Dahulu ketika aku pertam kali menuntut ilmu, aku tidak bisa membedakan antara ikhtashartu atau ikhtasharta
Ibnu Shalah menjelaskan, maksud dari ikhsharta & iktashartu adalah bahwa al-Qaffal tidak mampu membedakan antara kapan huruf “ta” dibaca “dhammah” dengan artian “aku”, dan kapan “ta” dibaca fathah sehingga berati “kamu”.
Ini menunjukan dahulu al-Qaffal merupakan orang yang sangat bodoh sampai tidak bisa membedakan antara kata “aku” dan “kamu” dalam bahasa Arab sebagai kata ganti. Dikemudian hari ia menjadi rujukan para ulama dunia dalam bidang Fikih yang karyanya masih ada sampai sekarang dan terus dikaji. Diantara buku-bukunya yang masih abadi:
1. Syarhur Risalah Lil Imam As-Syafii, penejasan untuk kitab Fikih karya Imam As-Syafii
2. Dalailun Nubuwah Tentang kemukjizatan Nabi Muhammad
3. Adabul Qadha tentang kaifiyat dan tata cara menjadi hakim / qadhi
4. Mahasin as-Syariah, tentang kebaikan-kebaikan yang terkandung dalma syariat Islam
5. Syarhus Syasyi, tafsir al-QuranKita lihat al-Qaffal telah berubah drastis dari orang yang sangat bodoh, menjadi ilmuwan besar dalam Yurispuridensi Islam (Fikih) dengan ketekunan dan kesungguhan. Kisah seperti ini tentu sangat banyak yang membuktikan dengan jelas bahwa Islam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Ilmu tidak akan diraih dengan cara berleha ataupun acuh. Ilmu diatas segalanya.
Wallahu`Alam
“MasyaAllah, luar biasa. Terima kasih artikelnya, Ustadz. Dengan ketekunan dan kesungguhan in syaa Allah hal yang menurut kita susah bisa menjadi mudah. Nasihat untuk penuntun ilmu bahwa ilmu tdk bisa diraih dengan cara berleha ataupun acuh. Bismillah semangat!” balas Ustadzah Septiyani Ardila dalam grup tersebut.
Benarlah kata Abdurrahman bin Hudzail Al-Fazari bahwa membaca kisah orang-orang yang memiliki keutamaan dapat menumbuhkan semangat. (27/12/21)