Oleh S. Febrianti Patimah
I’tikaf artinya berhenti atau diam di dalam masjid dengan diisi berbagai amalan ibadah kepada Allah SWT. I’tikaf termasuk sunah muakkadah (dianjurkan sekali), karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam biasa melakukannya. Konon Rasullulah melakukan itikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadist riwayat Ibnu Umar, Anas, dan Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa beritikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sejak beliau tiba di Madinah sampai beliau wafat.”
Dalam Quran surat Al Baqarah ayat 125, Allah SWT berfirman mengenai pelaksanaan itikaf di masjid, yang berbunyi:
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikan lah maqam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang itikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!”
Berdasarkan dalil di atas maka I’tikaf adalah salah satu aktivitas di bulan Ramadhan dengan tujuan dasar dari i’tikafnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam adalah ingin mendapatkan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan oleh Muslim, 1167 dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu’anhu berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ (أي : خيمة صغيرة) عَلَى سُدَّتِهَا (أي : بابها) حَصِيرٌ قَالَ : فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ، ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ ، فَدَنَوْا مِنْهُ ، فَقَالَ : إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ، ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي : إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ، فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh awal Ramadan. Kemudian beri’tikaf di sepuluh tengah Ramadan di tenda kecil. Dipintunya ada tikar. Berkata (Abu Said): “Beliau mengambil tikar dengan tangannya dan beliau bentangkan di sekitar tenda (Kubbah). Kemudian beliau mengeluarkan kepalanya dan berbicara dengan orang-orang. Dan orang-orang pada mendekat kepada beliau. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya saya beri’tikaf di sepuluh pertama untuk mendapatkan malam ini (lailatul qadar). Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh pertengahan, kemudian didatangkan kepadaku dan dikatakan kepadaku, “Sesungguhnya ia (lailatul Qadar) berada di sepuluh akhir. Siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, maka beri’tikaflah (pada sepuluh akhir). Maka orang-orang berdi’tikaf bersama beliau.”
Namun berdiam diri di masjid memiliki syarat-syarat tertentu yang penting untuk dipahami, sehingga kegiatan tersebut menjadi yang utama dan dapat dikatakan sebagai bentuk dari ibadah. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan, tidak melamun, dan pikiran tidak kosong.
نويت الاعتكاف لله تعالي
“Nawaitul I’tikaf Lillahi Ta’ala.”
Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana firman Allah SWT, “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).
Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (ada pendapat yang mengatakan bahwa hadas kecil juga membatalkan I’tikaf), dan harus di masjid. Itikaf biasanya dilakukan pada malam hari dengan diisii amalan amalan yang mustajab, seperti berikut ini:
- Shalat. Memperbanyak shalat saat i’tikaf amat dianjurkan. Sebab, shalat merupakan seutama-utamanya ibadah dan paling besar pahalanya. ‘’Shalat merupakan hubungan langsung antardua pihak, yakni seorang hamba dengan Khaliknya. Terlebih, shalat adalah tiang agama dan rukun Islam yang paling utama,’’ ujar Al-Kubaisi.
- Memperbanyak membaca Al-Quran. Dengan membaca Al-Quran hati akan menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram. Terlebih, pahala membaca Al-Quran juga amat besar. Orang banyak membaca Al-Quran mandapat jaminan untuk mendapatkan syafaat di hari akhir kelak. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Bacalah oleh kalian Alquran. Karena sesungguhnya Alquran itu akan datang menghampiri kalian di hari kiamat sebagai syafaat.’’ (HR. Muslim).
- Memperbanyak Zikir. Orang yang i’tikaf dianjurkan untuk memperbanyak zikir. Tentu saja, yang diutamakan adalah amalan-amalan yang disyariatkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti: bertasbih, takmid, tahlil, istighfar, dan sebagainya. Menurut para ulama, zikir merupakan salah satu ibadah khusus untuk bertaqarub kepada Allah SWT. Sesungguhnya, menyibukkan diri saat i’tikaf dengan berzikir akan mendapat pahala yang besar.
Allah SWT berfirman, ‘’Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.’’ (QS Al-Baqarah [2]: 152).
- Bershalawat. Amalan lainnya yang dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah SAW. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bershalawat menjadi salah satu sebab turunnya rahmat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah memberinya rahmat sepuluh.’’ (HR Muslim).
- Mengurangi hubungan dengan orang banyak. Pada saat i’tikaf dianjurkan untuk mengurangi hubungan dengan orang banyak. Bahka, kata para ulama, lebih disukai, jika i’tikaf telah selesai, kita berdiam diri pada malam menjelang Idul Fitri. Kemudian, keesokan harinya keluar dari masjid tempat i’tikaf menuju tempat shalat Idul Fitri. Dengan demikian, kita telah menyambung dari satu ibadah ke ibadah yang lainnya.
Meski demikian di dalam I’tikaf juga terdapat hal-hal yang membatalkan, sehingga ibadah yang dilakukan menjadi tidak sah. Batal I’tikafnya seseorang adalah apabila melakukan hal-hal berikut ini:
- Murtad. Menurut Al-Kubaisi i’tikaf akan menjadi batal karena murtad. Sebab, i’tikaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang dilakukan seorang Muslim, sedangkan orang kafir bukan termasuk ahli ibadah. Allah SWT berfirman: ‘’… Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu, dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’’ (QS Az-Zumar: 65)
- Bersetubuh. Para ulama sepakat bahwa bersetubuh dengan sengaja termasuk larangan bagi bagi orang yang sedang i’tikaf. Jika orang yang i’tikaf bersetubuh maka batallah i’tikafnya. ‘’Baik perbuatan (bersetubuh) itu dilakukan di dalam ataupun di luar masjid, baik dilakukan pada siang maupun malam hari,’’ tutur Al-Kubaisi.
Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: ‘’… dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri), sedang kamu ber i’tikaf dalam masjid..’’ (QS Al-baqarah [2]: 187). Menurut Al-Kubaisi, jika melihat asbabul nuzulnya, ayat tersebut merupakan teguran Allah bagi mereka yang sedang i’tikaf, tapi masih suka keluar masjid dan menggauli istrinya.
- Haid. Seluruh ulama mazhab bersepakat bahwa haid membatalkan i’tikaf. Seorang wanita yang sedang i’tikaf di dalam masjid lalu mengalami haid, maka harus keluar dari masjid. Kemudian menetap di rumahnya hingga haidnya selesai. ‘’Setelah itu bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikafnya,’’ papar Al-Kubaisi.
- Keluar dari tempat i’tikaf. Para ulama sepakat bahwa orang yang beranjak dari tempat i’tikaf dan keluar dari tempat i’tikaf bukan karena sebab-sebab darurat, maka batallah i’tikafnya.