Skip to main content

Mentadabburi kalam hikmah dari Waliyyullâh Ibn ‘Athôillâh as-Sakandarî melalui kitabnya “at-Tanwîr fî Isqôthi at-Tadbîr”, tentang hakikat daripada tujuan Allâh menciptakan manusia –dan jin, juga tentang jaminan rezeki untuk yang diciptakan-Nya.

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Sûrah adz-Dzâriyât: 56–58 :

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ [٥٦]

مَاۤ أُرِیدُ مِنۡهُم مِّن رِّزۡقٍ وَمَا أُرِیدُ أَن یُطۡعِمُونِ [٥٧]

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِینُ [٥٨]

Di ayat ke 56 dan dalam kalimat (لِیَعۡبُدُونِ) terdapat huruf lâm yang berfungsi sebagai petunjuk supaya mereka menjadi hamba bagi Allâh semata (لِلصَّـيْرُوْرَةِ : لِيَصِيْرَ للهِ الْعِبَادُ). Dan sesungguhnya dalam semua perbuatan Allâh itu mengandung “hikmah” khusus, dan bukanlah Allâh berbuat sesuatu (فِعْلُ اللّهِ) itu karena memiliki hajat/bersebab (مُعَلَّلٌ), karena apabila perbuatan Allâh itu bersebab berarti Allâh membutuhkan sesuatu, dan Maha Suci Allâh dari segala kehinaan dan Dia Maha Kaya dari segala sesuatu.

Perbuatan yang bersebab (مُعَلَّلٌ) bisa kita sandingkan hanya pada makhluk. Sebagai contoh: manakala kita membuat kursi, “dikarenakan kita membutuhkan” tempat untuk duduk, dan kita membuat masakan “karena kita perlu” makanan yang baik lagi menyehatkan, dst.

Allâh menginginkan kita (para hamba-Nya) berkhidmat hanya kepada-Nya, dan bukan untuk orang lain maupun diri kita sendiri. Berkhidmat di sini berarti menyerahkan segala apa yang ada pada kita dengan sepenuh jiwa dan raga bahkan nyawa, untuk memenuhi seluruh hak dan keinginan Allâh, tentu demi meraih ridho-Nya.

Sedangkan untuk contoh berkhidmat pada diri sendiri ialah seperti: saat kita beribadah supaya kita mendapatkan rezeki, atau kita belajar supaya kita mampu bersaing dengan orang lain serta mampu mendapatkan penghormatan maupun penghasilan yang bisa memuaskan diri kita, dst.

Dan dalam menjelaskan suatu hakikat penciptaan hamba, dikisahkanlah tentang 4 Malaikat yang saling menjawab dan sahut-menyahut setiap hari saat penciptaan manusia (dan juga jin). 

Malaikat pertama pun berkata, “Seandainya mereka semua tidak diciptakan!”

Malaikat lain menjawab, “Dan andai saja jika mereka diciptakan mereka mengetahui kenapa mereka diciptakan!”

Malaikat ketiga menimpali, “Seandainya saja  mereka mengetahui kenapa mereka diciptakan dan mengamalkan apa yang mereka ketahui!”

Malaikat terakhir pun menyahut, “Seandainya mereka tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui dan merekapun bertobat atas amalan mereka!”

Kemudian Allâh SWT-pun menjelaskan, “Sesungguhnya tidaklah diciptakan hamba untuk dirinya sendiri,” melainkan Allâh menciptakan mereka semata-mata untuk menyembah-Nya dan meng-Esa-kan Allâh.

Ini menerangkan bahwa betapa banyak manusia yang tidak tahu-menahu tentang tujuan Allâh menciptakan, kenapa mereka diciptakan dan untuk apa mereka diciptakan, hingga kejahilan itu membuat mereka tersesat dan meremehkan pengawasan Allâh atas dirinya.

Sehingga ada sebuah cerita tentang sebab taubatnya Ibrôhîm ibn Adham –rahimahullâh–, yang suatu hari, mana kala saat ia sedang asik memancing, seketika ia mendengar sebuah bisikan, “Wahai Ibrôhîm… Apakah untuk ini kamu diciptakan? Dan apakah kamu diperintahkan untuk ini?” Tak berselang lama, Ibrôhîm pun mendengar bisikan untuk kedua kalinya, “Wahai Ibrôhîm… Kamu diciptakan bukanlah untuk hal semacam ini! Dan bukan pula kamu diperintahkan untuk hal semacam ini! “

Sejak saat itulah, Ibrôhîm ibn Adham tobat dan tidak pernah lagi melakukan hal yang melalaikan lagi sia-sia, melainkan hanya beribadah kepada Allâh –Subhânahu wa Ta’âlâ.

Ibn ‘Athôillah juga menjelaskan dalam kitab ini bahwa, “Sesungguhnya seseorang yang disebut “faqîh” itu ialah yang mampu memahami rahasia dari sebuah penciptaan serta mengamalkan apa yang ia ketahui, dan inilah yang sebenarnya ilmu fiqh yang sejati. Dan barang siapa yang dianugerahi ilmu yang demikian sungguh ia telah mendapatkan nikmat yang sangat besar.”

Imâm Mâlik ibn Anas radhiyallâhu ‘anhumâ berkata, “Fiqih itu bukanlah tentang banyaknya periwayatan (pengetahuan), melainkan sebuah cahaya yang Allâh letakkan di dalam hati —hamba-Nya yang terpili.”

Seorang Waliyyullâh yang sangat agung, Abû al-‘Abbâs al-Mursî juga pernah berkata, “Seorang ‘faqîh’ (orang yang paham betul terhadap Islam) ialah yang mampu membuka tirai hijab pada mata bathinnya.” 

Sangatlah banyak “ta’rîf” (definisi) dari Tashowwuf, bahkan dikatakan oleh sebagian ‘ulama bahwa ada ± 2.000 takrifan, namun semua itu berporos pada satu, yakni kebenaran hati dan raga dalam menghadap kepada Allâh –sehingga ia mampu menghadirkan Allâh dalam jiwanya– saat beribadah kepada-Nya ( صِدْقُ التَّوَجُّهِ لِعِبَادَةِ اللّهِ عَزّ وَ جَلّ ).

Guru kami Maulânâ Syaikh Prof. Jamâl Fârûq ad-Daqqâq menambahkan, bahwa ikatan antara Fiqh dan Tashowwuf itu merupakan ikatan kelaziman, yang berarti tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapan oleh Imâm Mâlik ibn Anas –radhiyallâhu ‘anhumâ–:

 “ مَنْ تَفَقَّهَ وَ لَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ ، وَ مَنْ تَصَوَّفَ وَ لَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ ، وَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ “

Yang bermakna: Siapa yang berilmu namun tidak ber-Tahsowwuf maka sesungguhnya ia telah fasik, dan siapa yang bertashowwuf namun ia tidak berilmu maka sungguh ia telah zindik, dan barang siapa yang menggabungkan antara keduanya maka sungguh ia telah mencapai hakikat.

Kemudian di dua ayat berikutnya (57 & 58) dijelaskan tentang jaminan rezeki bagi setiap ciptaan Tuhan YME. Dan Allâh tidak menginginkan ada dari hamba-Nya yang memberi rezeki untuk dirinya sendiri, karena ialah Sebaik-baik Pemberi rezeki. Allâh sudah menjamin dan mengatur rezeki dari setiap makhluqnya dengan sangat detail sesuai dengan kebutuhan da n kecukupannya. Maka dari itu, ia memerintahkan semua makhluq untuk meng-Esa-kanNya (bertauhid) dalam meminta rezeki, tanpa harus bergantung pada orang lain, tidak berharap pada sebab turunnya rezeki, dan tidak pula pada usaha yang dikerjakannnya. 

Lantas apa yang dimaksud dengan memberi rezeki (menafkahi) diri sendiri?

Hampir Sama dengan yang telah dicontohkan dan dijelaskan sebelumnya, yaitu manakala kita bekerja keras demi mendapatkan rezeki yang lebih (menurut pikirin kita) untuk suatu yang kita inginkan, atau untuk memenuhi hajat diri sendiri, hingga kita lalai akan hakikat kita diciptakan yang hanya untuk menyembah kepada Allâh dan (seakan) kita tidak yakin bahwa Allâh telah menjamin rezeki untuk diri kita, atau bahkan kita takut jika Allâh berlaku tidak adil (mengurangi) jatah rezeki kita. “Sungguh, sekalipun Allâh tidak pernah dzôlim terhadap hamba-Nya!”

Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa barang siapa yang telah memahami secara benar hakikat penciptaannya, untuk apa ia diciptakan dan siapa Zat yang telah menciptakannya. Maka pemahaman tersebut akan membawanya kepada sifat zuhud terhadap dunia, tidak sibuk dalam menuruti kecondongan hawa nafsu dan kepentingan dirinya, tidak pernah khawatir akan rezeki yang akan ia dapatkan, karena ia tahu bahwa yang membernya rezeki ialah ” ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِینُ ” (Sang Pemberi Rezeki Yang Memiliki Kekuatan lagi Maha Tangguh).

[] 

*Fairuz Hammurabbi al-Azhari

—Wallâhu A’lam bis-Showâb

Leave a Reply