Skip to main content

Galau Itu Menghampiri

Menjadi anak pertama adalah hal yang menantang bagi diriku. Di samping harus menjadi panutan untuk adik-adik, juga harus menjadi kebanggaan pertama di mata Mama dan Bapak. Banyak kebisingan menghampiriku yang katanya anak pertama itu adalah beban keluarga. Tapi  steatment itu kupatahkan, agar tidak menjadi benalu di pikaranku.

Aku berkesimpulan, bahwa jika pernyataan itu kutanam dalam diriku. Maka, masa depanku menjadi khawatir karena selalu merasa memberatkan keluarga. 

Tapi bukan berarti aku membiarkan diri ini selalu dalam tanggungan keluarga tanpa balas. Aku harus memberikan yang terbaik untuk untuk Mama dan Bapak, meski tidak sebanding dengan usaha yang mereka lakukan untukku.

Seiring bertambahnya usiaku, kegelisahan mulai muncul. Salah satunya adalah rasa takut tidak bisa membuat kedua orang tua bangga, terutama saat usiaku sudah mencapai 21 tahun.

Bertepatan usai wisuda, arahku semakin tak terarah karena puluhan lowongan pekerjaan telah menolakku, semakin berkecamuklah isi kepalaku akan takutnya tidak bisa mempunyai masa depan yang cerah.

Tekadku semakin bulat, kuberanikan diriku untuk berbincang serius dengan Mama dan Bapak

Ma, Pa aku bingung kenapa ya belum ada tempat kerja yang menerima lamaran pekerjaan, padahal sudah puluhan lamaran yang aku kirimkan, memang ada yah yang kurang dari diriku ini?”  ucapku sambil menyeka air mata yang mulai berjatuhan.

Tidak ada kok yang kurang nak, itu tandanya belum rezeki kamu, tidak usah khawatir Allah pasti sudah mempersiapkan hal yang baik untukmu dan bapak pun tidak menuntut” ucap Bapak seraya menenangkanku.

Iya betul itu, ingat Mama dan Bapak tidak pernah menuntut kamu apa lagi memaksa untuk bisa ini bisa itu. Nak, melihat kamu selalu dekat dengan Mama dan Bapak itu sudah menjadi kebahagiaan luar biasa di mata Mama dan Bapak. Melihatmu sehat, bahagia, rajin beribadah itu sudah menjadi pemandangan indah di mata kami”. Ucap Mama sambil tersenyum yakin kepadaku.

Tangisanku semakin pecah dengan ucapan Mama yang sangat mendalam tapi sangat sulit untuk kumaknai, di situ aku hanya bisa menangis karena merasa gagal untuk menjadi anak yang membanggakan untuk orang tua.

Tak sampai di situ usahaku, walaupun Mama dan Bapak tidak menuntut sesuatu dariku, sebagai anak besar keinginanku untuk memberikan sesuatu hal yang indah untuk mereka sebagai bentuk baktiku. Setiap malam sebelum tidur aku selalu berbicara dengan diriku sendiri hal apa yang harus aku lakukan untuk bisa memberikan sesuatu kepada Mama dan Bapak utamanya dalam hal materi.

Sudah dua bulan sejak wisuda, masa pengangguranku semakin terasa berat. Aku merasa semakin bersalah kepada Mama dan Bapak karena berdiam di rumah, aku tidak memiliki aktivitas yang bisa dibanggakan.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply