l iterasi tidak hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, dan menjadikannya landasan dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, peran santri sebagai agen dakwah harus dibekali dengan kecakapan literasi agar mampu menyampaikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.
Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam justru telah lebih dahulu mendukung budaya literasi itu sendiri. Hal ini tercermin dari pepatah yang populer di kalangan pesantren, “Al adabu fauqol ‘ilmi, artinya Adab dahulu sebelum ilmu.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai literasi, dengan menjadikan adab sebagai fondasi utama dalam menuntut ilmu.
Dengan adab, ilmu yang diperoleh menjadi lebih bermakna dan membawa keberkahan, sehingga dapat memberi manfaat yang luas bagi banyak orang. Pesantren menempatkan pembentukan akhlak sebagai prioritas sebelum penguasaan keilmuan. Kondisi ini sebenarnya sangat mendukung penguatan literasi, selama pesantren mampu membimbing santri secara optimal.
Literasi dan Santri
Namun tantangannya, budaya literasi di kalangan santri masih tergolong rendah. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya minimnya fasilitas, belum meratanya pelatihan, serta metode pembelajaran yang masih tekstual dan monoton menjadi penyebab kurang berkembangnya kreativitas santri. Akibatnya, banyak santri belum mampu menjawab tantangan zaman. Padahal, masyarakat hari ini tidak hanya membutuhkan ustadz yang fasih berbicara. Tetapi juga pemikir yang mampu menganalisis masalah dan memberikan solusi yang relevan bagi umat. Oleh karena itu, kita penting untuk kembali mengoptimalkan peran pesantren dalam membangun literasi santri.
Solusi yang saya tawarkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah para pengajar perlu memberikan pemahaman mendalam kepada santri tentang makna Surah Al-‘Alaq dalam Al-Qur’an, yang memuat perintah pertama kepada manusia untuk membaca. Dengan pemahaman ini, para pengajar dapat memotivasi santri bahwa iqra’ merupakan pondasi penting dalam Islam. Hal ini dapat menjadi pijakan kuat (strong why) bagi santri untuk memahami mengapa membaca dan berliterasi sangatlah penting.
Selain itu, pesantren juga harus mampu mewadahi dan mendukung tumbuhnya budaya literasi di kalangan santri. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas yang menunjang, seperti ruang internet, forum diskusi, perpustakaan, ruang baca, dan seminar. Fasilitas-fasilitas tersebut akan membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan minat dan kemampuan literasi santri secara berkelanjutan.
Dengan demikian, maka pesantren seharusnya tidak hanya menjadi tempat belajar ilmu agama semata, melainkan juga mencetak lulusan yang siap terjun ke berbagai lini kehidupan. Santri dengan pondasi keislaman yang kuat memiliki potensi besar untuk berkiprah di berbagai bidang seperti, ekonomi, teknik, sains, olahraga, bahkan politik.
Islam tidak cukup hanya ditegakkan dengan ilmu agama saja, tetapi juga membutuhkan ahli-ahli dalam bidang strategis. Santri yang memiliki dasar agama yang kokoh akan tetap berada di jalan yang lurus (shirathal mustaqim) dan menjadikan keahliannya sebagai sarana untuk membawa kemaslahatan bagi umat, bukan sebaliknya.
Inilah yang menjadi kritik bagi saya. Pesantren harus mulai menangkap peluang besar ini dan tidak berhenti pada penguatan aspek religius saja. Diperlukan pembinaan yang mendorong santri berpikir kritis, inovatif, dan solutif agar mampu menjadi agen perubahan yang bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Responden: Auaradha Shukura Muji, S.T.,M.T, Alumni Maskanul Huffadz Ichwan MRBJ angkatan 2