D esember menjadi penanda bahwa tahun ajaran berakhir. Seiring dengan itu, rangkaian kegiatan belajar mengajar di sekolah pun telah tuntas dilaksanakan. Momentum ini sering dimanfaatkan siswa untuk menakar hasil prestasi akademik yang telah diperjuangkan selama satu semester.
Pada fase inilah siswa dihadapkan pada dua kemungkinan, sebagian berhasil mencapai target yang diharapkan, sementara sebagian lainnya harus menelan kekecewaan. Dalam suasana seperti ini, proses evaluasi diri tak terelakkan. Namun, tidak sedikit pula yang terjebak pada cara pandang keliru dengan menjadikan takdir sebagai pihak yang dipersalahkan.
Ada siswa yang merasa seluruh usaha belajar yang telah dilakukan seolah-olah sia-sia, lalu menyimpulkan bahwa kegagalannya merupakan ketetapan Allah yang tak dapat diubah. Di sisi lain, muncul pula sikap yang meremehkan makna ikhtiar itu sendiri. Mempertanyakan untuk apa yang bersungguh-sungguh belajar jika pada akhirnya tetap gagal? Kegagalan kemudian dipersepsikan sebagai kondisi bawaan sejak lahir, sesuatu yang dianggap mustahil untuk diperbaiki.
Menyimak dari permasalahan yang dihadapi siswa tersebut, Syaikh Ahmad Hassan Muhammad Hassan, salah satu Guru Besar di Maskanul Huffadz, yang merupakan dosen Filsafat dan Aqidah di Universitas Al-Azhar, Kairo memberikan tanggapannya dan mencarikan benang merah antara takdir dan ikhtiar.
Apa Itu Ikhtiar dan Takdir
Syaikh Ahmad Hassan Muhammad Hassan menjelaskan, kehidupan manusia itu dihadapkan pada dua kondisi. Kondisi pertama sifatnya tuntutan, maksudnya setiap pekerjaan manusia yang sudah alamiah terjadi tanpa ada campur tangan manusia di dalamnya, seperti bernapas, degup jantung, ataupun darah yang mengalir dalam tubuh manusia, semua adalah ketetapan yang tidak ada kendali manusia dalam melakukannya.
Kondisi kedua, hal yang bersifat ikhtiar. Manusia mempunyai kendali dan pilihan untuk melakukan atau tidaknya pekerjaan tersebut. Seperti saat panggilan azan, maka ada yang memilih untuk bersegera berangkat ke masjid menunaikan shalat berjamaah, dan ada juga yang melalaikan bahkan tidak melaksanakannya.
Pada dasarnya memang perbuatan manusia tergantung takdir dan izin Allah, namun jika hal itu bisa diikhtiarkan maka manusia tidak bisa mendalihkan kemaksiatan sebagai ketetapan Allah. Setiap manusia mempunyai kendali untuk memilih dosa tersebut atau tidak, dan dengan pilihan tersebut terdapat tangung jawab di dalamnya. Manusia dapat mengerjakan ketaatan berdasarkan pilihannya. Juga mengerjakan kemaksiatan berdasarkan keinginannya. Dia punya akses untuk itu. Sementara itu, setiap tanggung jawab yang diambil tentunya ada konsekuensi yang diperoleh. Maka dia pahala bila mengerjakan ketaatan dan mendapatkan hukuman bila mengerjakan kemaksiatan. Maka inilah hubungan antara ikhtiar dan takdir.
Mengapa Sudah Berikhtiar Tetap Gagal, Benarkah Ini Takdir?
Terkait dengan kasus siswa di atas, inilah hal krusial yang perlu ditanyakan. Kenapa masih ada siswa yang gagal dalam ujiannya sedangkan mereka sudah maksimal dalam belajar?
Dalam perspektif ikhtiar, kegagalan dan keberhasilan tidak dapat dilepaskan dari peran manusia sebagai subjek yang memiliki pilihan. Ikhtiar berkaitan erat dengan perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kehendak dan kesadaran. Setiap pilihan, baik menuju kebaikan maupun keburukan terdapat konsekuensi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Syaikh memberikan ilustrasi sederhana untuk menjelaskan konsep ini. Ia mencontohkan situasi ketika seorang fakir datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dalam kondisi tersebut, ia mempunyai pilihan, mengabaikan dan membiarkan orang miskin itu pergi, atau sebaliknya, memberikan bantuan kepadanya. Pilihan kedua itu sepenuhnya berada dalam kendali manusia, dan dari mencapai nilai ikhtiar itu, jika ia membantu orang miskin tentu ia mendapat pahala, begitu pula sebaliknya jika ia menolak untuk membantu tentunya ia akan merugi.
Nah, permasalahan terkait ini dapat dipahami bersama, yang namanya ikhtiar adalah kewajiban manusia, sementara hasilnya ada dalam ketetapan Allah. Manusia hanya diperintahkan untuk memaksimalkan usaha sesuai pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Ikhtiar tidak selalu identik dengan hasil yang dinginkan, sebab keberhasilan seseorang tidak ditentukan seberapa keras usaha yang dilakukannya, namun juga dipengaruhi faktor di luar kendali manusia.
Pada akhirnya, ketetapan Allah berada di atas segala kekuasaan manusia. Kemungkinan keras pun ikhtiar dilakukan, selalu ada faktor di luar kendali manusia. Namun demikian, Allah Yang Maha Penyayang tidak pernah menyia-nyiakan setiap perjuangan hamba-Nya. Oleh karena itu, tugas manusia adalah memaksimalkan ikhtiar, lalu menyerahkan sepenuhnya hasil akhir kepada Allah.










